Rabu, 16 Juli 2014

survei : 38% Orang Indonesia Cenderung “Screen Stacking” Saat Menonton TV

Perusahaan riset global TNS, merilis hasil survei yang menunjukkan kebiasaan audiens menggunakan perangkat digital saat menonton televisi pada saat bersamaan, atau yang disebut dengan screen stacking. Tren ini juga terjadi di Indonesia, dimana 38% responden melakukan screen stacking ketika menonton televisi.
TNS
Dalam Connected Life, sebuah riset terhadap lebih dari 55.000 pengguna internet di seluruh dunia yang dilakukan TNS, ditemukan bahwa hampir setengah responden (48%) yang menonton televisi di malam hari secara bersamaan juga menggunakan perangkat digital lain seperti berinteraksi di social media, mengecek email, atau melakukan belanja online.
“Penggunaan berbagai perangkat digital secara terus menerus tampak kian jelas selama pertandingan Piala Dunia dalam beberapa minggu ini,” kata Joe Webb, Head of Digital TNS Asia Pasifik. Ia menambahkan, “Penduduk di seluruh dunia menonton pertandingan tersebut dengan berbagai cara melalui beragam perangkat digital, antara lain di televisi, tablet atau telepon genggam, sembari berinteraksi lewat social media. Hal ini merupakan contoh yang tepat bagaimana perilaku screen stacking menjadi lazim di masyarakat.”
Dalam survei ini juga terungkap bahwa setiap orang memiliki rata-rata empat perangkat digital, bahkan ada yang hingga memiliki lima perangkat digital, diantaranya orang Australia, Jerman dan Inggris. Sedangkan orang Indonesia hanya memiliki dua hingga tiga perangkat digital. Kebutuhan menonton televisi dan konten video on-the-go secara bersamaan, mendorong tingginya kecenderungan multi-screening atau screen-stacking.
Keinginan untuk menonton acara favorit televisi selama berjam-jam juga mendorong penggunaan televisionline. Sehingga masyarakat menggunakan lebih banyak perangkat untuk mengakses konten tersebut. Seperempat (25%) responden di seluruh dunia saat ini menonton konten melalui PC, laptop, tablet atau telepon genggam setiap hari. Hal ini juga terjadi di Tiongkok dan Singapura (33%) serta Hong Kong (32%) di manasmartphone tablet (phablet) sangat populer. Sementara di Indonesia, kebiasaan menonton secara online belum populer, dimana hanya 6% responden menonton televisi secara online.
Terkait dengan hasil riset tersebut, ungkap Webb, “Walaupun televisi masih sangat dominan di Indonesia, kami melihat keinginan yang semakin meningkat untuk menonton dalam bentuk lain dan melalui perangkat-perangkat lain. Seiring dengan meningkatnya kecepatan data dan smartphone semakin terjangkau, kami optimis bahwa tren ini akan terus meningkat,” terang Webb dalam rilis pers yang diterima MIX Marcomm pada Selasa (15/7/14).
Meskipun menonton televisi secara online saat ini menjadi tren, televisi tradisional masih berperan penting dalam kehidupan masyarakat. Sebanyak 75% responden di seluruh dunia dan mayoritas 93% masyarakat Indonesia duduk menonton televisi setiap hari. Selain itu, ada juga kebiasaan 78% masyarakat Indonesia yang menonton televisi sembari makan di malam hari. Angka ini sedikit lebih tinggi dari persentase rata-rata global sebesar 76%.

Membangun ‘Brand Awareness’ melalui Partnership

Sebagai upaya membangun brand awareness Kompas Gramedia Value Card (KGVC)Kompas Gramedia menggelar event khusus untuk member KGVC di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta, mulai 3-6 Juni 2014. Sebagai bagian dari program Customer Relationship Management (CRM) Kompas Gramedia, event tersebut dibagi menjadi dua rangkaian besar yaitu KGVC’s Bazaar dan Member – Partner Gathering.
Selain untuk meningkatkan brand awareness, program CRM Kompas Gramedia Value Card juga sebagai wadah mempererat partnership Kompas Gramedia dengan para stakeholder-nya.
Selain untuk meningkatkan brand awareness, program CRM Kompas Gramedia Value Card juga sebagai wadah mempererat partnership Kompas Gramedia dengan para stakeholder-nya.
Kegiatan seperti ini, selain sebagai ajang silaturahmi, diharapkan juga dapat meningkatkan transaksi bisnis para partner KG Value Card,” kata Widi Krastawan, Corporate Communication Director Kompas Gramedia ketika membuka acara.
Lewat bazaar yang diikuti oleh sebagian partner KGVC, hadir pula partner baik yang sudah tergabung menjadimerchant maupun yang akan bergabung dari berbagai kategori produk, diantaranya Sariayu Martha Tilaar, Biokos, Martha Tilaar Day Spa, RSIA St. Carolus Summarecon, Teh63, Chatime, Bakso Sehat Bakso Atom, Es Teler 77, Sosro dan Yoshinoya. Bazaar juga diramaikan oleh peserta dari internal Kompas Gramedia seperti Sirkulasi Majalah, bursa buku dan tentunya kegiatan akuisisi KGVC sendiri.
Sementara sesi Member – Partner Gathering, menjadi ajang untuk mempertemukan para stakeholder KGVC yaitu member, partner, serta karyawan Kompas Gramedia sendiri yang diadakan pada Rabu (4/6) di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta. Sesi yang dikemas dalam bentuk talkshow dan dihadiri lebih dari 200 peserta itu, menghadirkan panel-panel ternama, antara lain Yushowady – Penulis Beat The Giant, Samuel Pranata – Direktur Marketing PT Martina Berto, Amelia Nasution – VP CRM Garuda Indonesia, dan Santoso – Senior GM Head of Consumer Card PT BCA.
Target pengunjung event program CRM ini adalah karyawan Kompas Gramedia dan member KG Value Card yang khususnya berada di wilayah Jakarta. Hingga hari terakhir, Kompas Gramedia menargetkan setidaknya 4000 pengunjung atau member KGVC. “CRM is a journey from product centric to customer centric. Jadi selain memenangkan hati parner, kami juga bekerja sama dengan mereka untuk memenangkan hati customer,”ungkap Vivi Herlambang, Customer Relationship Management Asst. Manager Kompas Gramedia.

sumber: www.mix.co.id

Cara Agar Merek Lokal Menasional

Merek-merek lokal Indonesia berpotensi besar menjadi merek nasional.  Untuk membangun sebuah merek dengan baik (lokal maupun nasional), kita harus kembali ke konsep dasar marketing 4Ps (Product, Price, Promotion, Place) dan STP (Segmentation, Targeting, Positioning).  Apakah konsep produk sudah benar? Bagaimana dengan harga dan konsep promosinya? Apakah distribusinya sudah merata dan maksimal?  Bagaimana pula dengan konsumennya yang harus kita petakan dengan STP?
Maya Watono
Untuk mengembangkan merek-merek lokal menjadi merek nasional, kita harus mengkaji apakah produk memang bagus dan berkualitas? Apakah produk mempunyai atribut unik yang belum ada di merek-merek nasional? Apakah ada demand di pasar nasional untuk produk semacam ini? Untuk menjawab berbagai pertanyaan itu, kita harus melakukan product concept test di beberapa kota di Indonesia, terutama kota-kota besar di Pulau Jawa sebagai kontributor penjualan nasional terbesar. Setelah produk dirasa mantap untuk menasional, konsep IMC dapat membantu merek-merek lokal menjadi nasional.
Banyak merek-merek nasional yang sekarang berkibar berawal dari merek lokal seperti Tolak Angin dari PT Sido Muncul yang merupakan salah satu client Dwi Sapta Group.  Pada awal 1980-an, Tolak Angin masih berada dalam stigma produk jamu tradisional yang dianggap kuno.  Saat itu, Bapak Irwan Hidayat, Presiden Direktur PT Sido Muncul, memahami apa yang dirasakan konsumen sehingga agar produk dapat lebih diterima di pasar, Tolak Angin melakukan inovasi produk dengan mengubah bentuk dari tablet bulat hitam menjadi serbuk, dan akhirnya menjadi bentuk cair sampai sekarang. Harga Tolak Angin dikaji ulang dan distribusinya diperbaiki.
Dari segi komunikasi, dilakukanlah re-positioning, sehingga Tolak Angin tidak lagi dipersepsikan sebagai jamu, melainkan sebagai produk herbal berkualitas. Proses pembuatannya higienis dan diakui dunia farmasi modern.  Socioeconomic Status (SES) target konsumen yang dibidik pun diubah naik agar produk bisa “naik kelas.” Daya beli segmen bawah yang kecil dinilai akan mempersempit ruang gerak dan potensi penjualan.  Strategi komunikasi pemasaran pun diarahkan lebih untuk target market menengah ke atas dengan menggunakan endorser papan atas.  Untuk meningkatkan brand image, komunikasi dilakukan untuk menunjukan keunggulan pabrik yang berkualitas serta mengusung konsep kecintaan dan kepedulian sosial terhadap Tanah Air.
Pada implementasi strategi IMC, Brand Soul dan Selling Idea dari produk harus kuat.  Brand soul merupakan unique value proposition yang menjawab kebutuhan konsumen dan tidak dimiliki oleh pesaing di pasar.  Brand Soul harus diterjemahkan menjadi Selling Idea yang menjadi “anchor” dari keseluruhan kampanye komunikasi yang akan dijalankan.  Misalnya untuk Tolak Angin, Selling Idea-nya adalah “Orang Pintar Minum Tolak Angin.”  Selling idea harus disampaikan kepada target audience dengan pesan pemasaran yang atraktif dan relevan.
Agar pesan pemasaran efektif menjangkau benak konsumen, kita harus memilih touch point yang sesuai untuk produk yang hendak dipromosikan dan target market kita. Seluruh aspek komunikasi pemasaran harus disatukan dalam satu pesan yang sama, yang terus dikomunikasikan secara konsisten sehingga tercipta efek penguatan dan melahirkan pemahaman mendalam.
Seringkali merek lokal terkendala marketing budget saat akan membuat program kampanye yang menasional.  Adakah tips kampanye yang hemat?
Bila dari segi budgeting “peluru” Anda tidak banyak, Anda harus membidik dengan sangat tepat.  Di sinilah pemahaman media dan pemilihan contact point menjadi sangat penting.  Pengetahuan kita mengenai titik-titik persentuhan merek dengan konsumen dan perilaku konsumen di berbagai contact point menjadi faktor utama keberhasilan komunikasi pemasaran.
Untuk mendapatkan peta dan profil contact point, kita dapat menggunakan data riset sekunder seperti Nielsen dan Roy Morgan, atau melakukan riset identifikasi contact point. Riset seperti consumer journey mapping dapat digunakan untuk mengenali berbagai titik persentuhan konsumen dengan merek yang kita kampanyekan dalam kehidupan mereka sehari-hari.  Tentu saja jenis dan jumlah titik persentuhan ini banyak sekali, tapi kita harus mengidentifikasi contact point yang tingkat kejadiannya (incidence rate) paling tinggi.
Misalnya, untuk Target Audience ibu rumah tangga, contact point yang tepat bisa media misal seperti TV, tabloid atau majalah wanita, bisa billboard di pinggir jalan atau point-of-purchase materials di pasar, bisa gerobak pedagang sayur di kompleks, bisa juga di perkumpulan ibu-ibu arisan, kelompok pengajian, dan posyandu. Untuk Target Audience ABG, tentu contact point-nya akan berbeda.
Pemilihan contact point yang tepat harus mengacu pada objektif komunikasi. Apabila objektifnya untuk mendapatkan awareness, kita harus menggunakan media yang massal seperti TV, radio dan koran—agar mendapatkan maximum reach.  Media massal sebaiknya dikombinasikan dengan media lain yang lebih hemat agar kampanye bisa cost-effective, misalnya dengan Twitter untuk menyebarkan word of mouth dan mendorong konsumen untuk membicarakan produk.
Strategi program kampanye pun harus disesuaikan dengan kekuatan distribusi produk.  Apabila distribusi belum merata, tidak perlu menggunakan mass media seperti TV atau media cetak nasional, karena akan menjadi tidak efektif dan cost per head menjadi sangat mahal.  Kita dapat menggunakan TV lokal, maupun media cetak atau radio lokal.  Cara lain bisa dengan mengadakan brand activation di area-area yang ingin kita perkuat selling out-nya.  Bisa dalam bentuk event-event seperti “grebeg daerah” atau sampling and selling.
Walaupun memakai berbagai contact point, komunikasi harus terintegrasi dengan Brand Soul dan Selling Idea yang sama.  Ini adalah benang merah yang mengikat pesan di berbagai marcom mix agar tetap konsisten dan efektif.

Selasa, 15 Juli 2014

Seksinya Segmen Pria


Maya Carolina Watono, Managing Director Dwi Sapta Group
Maya Carolina Watono, Managing Director Dwi Sapta Group
Di tengah bertumbuhnya kelas menengah, ternyata segmen pria terhitung cukup seksi untuk digarap. Selain berani mengeluarkan biaya tinggi demi memenuhi kebutuhan hobby mereka, kini para pria juga begitu peduli dengan penampilan. Bagaimana seharusnya brand menyikapi pergeseran habit tersebut untuk merancang strategi komunikasinya?
Diasuh Oleh: Maya Carolina Watono, Managing Director Dwi Sapta Group dan Penulis Buku “IMC That Sells (2011)”
Bagaimana potensial market di Indonesia dengan hadirnya kebangkitan kelas menengah? Jika brand membidik segmen pria, bagaimana brand harus memanfaatkan kebangkitan tersebut? Strategi komunikasinya harus seperti apa? (Evi-Depok)
Saat ini, kelas menengah menjadi pasar yang sangat menggiurkan di Tanah Air, karena memang tengah bertumbuh signifikan. Tahun lalu, GDP Indonesia mencapai 6,5%, sama persis dengan pertumbuhan ekonomi di Asia Pasifik yang mencapai 6,5%. Kontribusi tertinggi dari GDP tersebut adalah domestic consumption, sekitar 54,6%. Sisanya, 32% investasi, 9% government expenditure, dan 1,4% net export.
Dampak positifnya, fast moving consumer goods (FMCG) menjadi kategori paling bersinar. Terutama, untuk produk-produk toeletris dan kosmetik, beverages, serta foods, yang telah men-drive pertumbuhan industri.
Data Nielsen menunjukkan, di tahun 2012—dibandingkan tahun 2011—ada sejumlah katagori produk yang menempati enam besar di era pertumbuhan kelas menengah. Keenam kategori itu adalah RTD Tea (62%), frozen fish & meat (41%), dishwashing liquid (30%), bread spread (30%), fabric conditioner (27%), breakfast cereal (25%).
Yang menarik, kini tak hanya kelas atas, kelas menengah pun butuh status social sebagai aspirational behavior mereka. Akibatnya, trend yang terjadi di FMCG—sebagai kategori yang paling seksi—mengerucut pada convenience, healthy, dan good looks. Termasuk, food mega trends yang terjadi mengarah pada indulgence, healthy, dan convenience.
Oleh karena itu, sudah seharusnya insight di atas ditangkap dengan jeli oleh para pemasar. Kita harus mampu memanfaatkan pertumbuhan kelas menengah tersebut untuk “mempercantik” kinerja merek. Tanpa terkecuali, merek-merek yang menyasar segmen pria, yang juga sangat potensial untuk digarap.
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam menggarap segmen pria adalah mengenali betul habit mereka. Mengapa? Karena, saat ini telah terjadi pergeseran habit di segmen pria. Saat ini, para pria sudah sangat peduli dengan penampilan (good looks). Hal itu ditandai dengan makin banyaknya produk—seperti sabun, shampoo, hingga pembersih muka—yang meluncurkan varian khusus untuk pria. Bahkan, para pria rela mengeluarkan duit banyak untuk memenuhi kebutuhan hobby mereka, antara lain memodifikasi motor, mobil, sepeda, dan sebagainya. Social life mereka pun lebih condong ke teknologi, antara lain lewat lap top, ponsel, dan smartphone.
Langkah berikutnya yang harus kita lakukan adalah memanfaatkan indicator yang muncul di dalam insight tersebut sebagai dasar untuk merumuskan strategi komunikasi merek. Ambil contoh, merek minuman berenergi Proman yang baru saja diluncurkan pada pertengahan tahun 2012 lalu. Sebagai merek baru yang harus bersaing di pasar yang sudah ketat, maka Proman harus sanggup menonjol di tengah agresivitas merek-merek incumbent.
Menjawab indicator bahwa pria Indonesia ingin dianggap powerful, macho, kuat, dan tangguh, maka Proman memanfaatkan atribut ke-macho-an sekaligus ketangguhan sebagai elemen komunikasinya. Untuk itu, Proman yang menyasar pria kelas menengah atas, menggandeng komunitas hobby Harley Owner Group (HOG) untuk peluncuran perdananya. Yaitu, dengan mensponsori kegiatan “Touring Road to Surya Sumatra Bike Week” yang diikuti oleh 300 peserta HOG. Sepanjang kegiatan touring, Proman juga menggelar aktivasi di social media lewat Live Tweet dan quiz via akun twitter @Proman5jam.
Tentu saja, kegiatan BTL dan digital tadi diintegrasikan secara bersamaan dengan aktivasi di ATL. Pesan iklan yang disampaikan oleh Proman adalah pencitraan seputar ketangguhan pria melalui motor Harley-nya serta produk energy drink yang mampu memberikan ketahanan hingga lima jam.
sumber:www.mix.co.id

Mengukur Efektivitas Kampenye ATL

Ada sejumlah parameter yang dapat digunakan dalam mengukur efektivitas sebuah kampanye komunikasi, terutama kampanye di above the line. Sejatinya, parameter ini sangat diperlukan agar belanja komunikasi yang sudah dikeluarkan tidak terbuang percuma.
Maya Carolina Watono, Managing Director Dwi Sapta Group
Maya Carolina Watono, Managing Director Dwi Sapta Group
Diasuh Oleh: Maya Carolina Watono, Managing Director Dwi Sapta Group dan Penulis Buku ‘’IMC That Sells (2011)’’
Bagaimana cara mengukur efektivitas sebuah kampanye komunikasi terutama di televisi? Biasanya, apa saja yang menjadi tolok ukur atau parameternya? (Joe – mahasiswa Fakultas Komunikasi Universitas Nasional, Jakarta)
Komunikasi merupakan salah satu elemen penting dalam keberhasilan sebuah brand. Oleh karena itu, brand owner harus jeli dalam merumuskan setiap strategi komunikasinya agar belanja komunikasi yang sudah dikeluarkan tidak terbuang sia-sia. Selama proses kampanye komunikasi, kita harus terus mengevaluasi pelaksanaannya untuk mengetahui apakah strategi yang telah direncakan berjalan sesuai rencana.
Bicara tentang parameter efektivitas sebuah kampanye komunikasi, maka hal pertama yang dapat kita lihat adalah obyektifbrand dalam berkomunikasi. Biasanya, ada beragam obyektif yang ditetapkan dalam mengkomunikasikan sebuah brand. Mulai dari membangun awareness yang lazimnya menjadi obyektif dari sebuah peluncuran produk baru; meningkatkanawareness untuk produk yang sedang pada tahap pemeliharaan brand; memulihkan reputasi untuk brand yang sedang mengalami krisis pencitraan; hingga meningkatkan sales untuk produk yang sedang menggenjot penjualannya.
Agar obyektif tersebut dapat kita ukur pencapaiannya, kita harus menetapkan Key Performance Indicator (KPI). Ambil contoh, peluncuran Adem Sari di pasar. Sari Enesis Group sebagai produsen memiliki obyektif menciptakan awareness lewat kampanye iklan di televisi. Di kala brand incumbent hadir dalam bentuk larutan, Adem Sari sebagai pendatang anyar muncul dalam bentuk serbuk. Bahkan, harga yang dibandrol Adem Sari hanya sepertiga dari produk penguasa pasar ketika itu.
Di media televisi, Ada dua Key Performance Indicator (KPI) yang menjadi penentu tercapai-tidaknya obyektif yang dipatok di awal. Pertama, penetrasi audience dengan melihat effective frequency dan effective reach.Effective frequencymengacu pada seberapa sering (number of times) pesan sebuah produk mencapai target audience, sedangkan effective reachadalah persentase target audience yang terekspos terhadap pesan sebuah produk.
Biasanya, sebelum iklan tayang di televisi, antara brand owner dengan agensi advertising telah menyepakati beberapa poin penting terkait keberhasilan dari placement iklan. Dalam dunia periklanan televisi kita kenal Gross Rating Point (GRP) yang dapat memberikan jumlah kumulatif pemirsa yang menonton iklan kita di suatu periode waktu tertentu. Indikator lainnya antara lain adalah Reach dan Opportunity To See (OTS). Poin- poin itu mampu menggambarkan jangkauan iklan Adem Sari terhadap target audience dalam periode waktu kampanye tertentu.
Indikasinya, semakin sering audience melihat TVC Adem Sari, maka  potensi konsumen untuk membeli Adem Sari semakin tinggi. Mengapa? Misalnya bila seseorang baru melihat iklan satu kali (Reach 1+), pada tahap ini barangkali audience baru menangkap kesan namun belum tentu memahami isi pesannya. Begitu audience 5 hingga 7 kali melihat iklan, potensi mereka untuk membeli akan semakin besar lantaran mereka sudah memahami pesan iklan dengan lebih baik. Termasuk, telah mengenal kegunaan dan manfaat produk yang dilihat di iklan tersebut. 
Oleh karena itu, tim media dari sebuah agensi, memiliki tugas untuk senantiasa memonitor pencapaian seluruh tolak ukur yang sudah ditetapkan bersama tadi. Tim media secara berkala memonitor sekaligus menganalisis setiap pergerakan rating dari program TV yang sudah dipesan untuk TVC  yang akan ditayangkan. Guna memonitor pergerakan rating tersebut, biasanya ada sejumlah tools yang dimanfaatkan. Salah satunya, yang paling sering digunakan adalah software Ariana oleh Nielsen.
Kedua, penerimaan pesan iklan atau yang biasa disebut recall.  Artinya, seberapa jauh audience mampu memahami sekaligus menerima pesan iklan yang telah disampaikan lewat TVC. Untuk mengetahui recall, maka agensi dapat melakukan riset kuantitatif post ad recall maupun berbagai riset dengan metodologi lainnya.
Ada sejumlah pertanyaan penting yang biasa dilontarkan kepada audience dalam riset kuantitatif tersebut. Antara lain, apakah audience memahami pesan iklan, apakah audience percaya dengan pesan iklan, elemen mana dalam iklan yang menarik dan mudah diingat, apa relevansi pesan iklan tersebut dengan produk, dan yang terpenting adalah apakah audience tertarik pada iklan tersebut, sehingga berminat untuk membeli produknya.
Apabila setelah dievaluasi ada hasil yang tidak sesuai ekspektasi, kita harus responsive segera melakukan penyesuaian atau perubahan terhadap komunikasi yang ada agar diperoleh hasil yang lebih baik. Akan lebih baik bila kita dapat melakukan pengukuran efektivitas sebuah kampanye komunikasi secara berkala dan continue. Dengan itu kita dapat melakukan tracking yang berkesinambungan atas hasil kampanye komunikasi kita sehingga hasilnya kita dapat melakukancontinuous improvement sepanjang waktu.

sumber; www.mix.co.id

Rejuvinasi Agar Merek Tetap Eksis

Tak hanya merek berusia senja yang berpotensi mema suki fase Decline, hingga berujung pada kematian. Belum sempat memasuki fase Mature, merek yang tengah berada di fase Growth pun bisa langsung melompat ke fase Decline. Penyebabnya, ketidakmampuan merek dalam menjawab perubahan pasar sekaligus ketatnya persaingan. Bagaimana agar merek tetap eksis?
Maya Carolina Watono, Managing Director Dwi Sapta Group
Maya Carolina Watono, Managing Director Dwi Sapta Group
Diasuh oleh: Maya Carolina Watono, Managing Director Dwi Sapta Group dan Penulis Buku “IMC That Sells (2011)”.
Apa yang harus dilakukan jika merek yang kita kelola sudah mulai menua? Apa langkah marketing komunikasi yang tepat, agar merek lawas bisa tetap eksis di tengah gempuran pesaing, terutama para pendatang baru? (Rani-Tangerang).
Layaknya mahluk hidup, produk pun memiliki siklus hidup. Jika mahluk hidup mengawali siklus hidup dari lahir, kemudian tumbuh, berkembang, layu, dan akhirnya mati; maka produk memiliki siklus hidup yang disebut sebagai Product Life Cycle, yang dimulai dari Introduction, beranjak ke Growth, memasuki masa Mature, hingga berujung pada Decline. Sejatinya, kecepatan siklus hidup sebuah produk juga bergantung pada kategori produk itu sendiri. Produk-produk yang berbasis teknologi dan fashion umpamanya, memiliki siklus hidup yang lebih pendek dibandingkan kategori produk lainnya.
Memasuki fase pertama, Introduction, biasanya kita akan memasuki rangkaian aktivasi launching, atau peluncuran produk. Di fase ini, pengelola merek mulai memperkenalkan merek, sekaligus membangun awareness lewat aneka contact point massal agar mendapatkan Reach yang luas namun sesuai dengan target market yang dibidik. Penetrasi pasar pun harus dilancarkan lewat beragam channel distribusi dan trade activity.
Di fase kedua, Growth, kita sudah mulai dapat melihat apakah produk sudah mendapat respon positif dari pasar. Pada masa ini, pengelola merek masih agresif melakukan upaya marketing komunikasi untuk merebut pangsa pasar. Obyektifnya, selain untuk memperkuat merek di pasar, diharapkan kinerja penjualan merek terus melonjak sehingga dapat mengejar growth yang signifikan di masa-masa awal.
Menginjak fase ketiga, Mature alias matang, kita sudah harus mulai berhati-hati. Mengapa? Karena pada masa ini awal penurunan dapat terjadi. Ada banyak gejala atau indikasi yang bisa kita jadikan warning pada fase ini. Antara lain, gejala market yang mulai stagnan, sales dan market share yang cenderung rata atau menurun, kompetisi yang semakin ketat, hingga konsumen yang sudah tidak bisa melihat lagi perbedaan benefit yang ditawarkan antara satu merek dengan merek lainnya. Biasanya, merek-merek yang mengalami fase ini adalah merek yang beranjak senja atau bahkan menua.
Fase terakhir, Decline. Yakni, fase yang memperlihatkan penurunan tajam atas kinerja sebuah merek. Merek yang memasuki fase ini umumnya adalah merek yang tidak mampu menjawab perubahan pasar. Lantaran, mereka cukup nyaman berada di zona Mature. Perlu diingat, merek yang masih berada pada fase Growth juga bisa langsung melompat ke fase Decline, sepanjang tidak mampu menjawab perubahan pasar maupun ketatnya persaingan.
Oleh karena itu, agar merek yang sudah memasuki fase Mature tidak beranjak pada fase Decline, maka langkah peremajaan (rejuvinasi) lewat berbagai inovasi wajib dilakukan. Merek di fase Mature harus kita bangunkan agar dapat bergairah lagi di pasar dan dapat mengulangi fase life cycle Growth. Mulai dari inovasi produk hingga inovasi pada strategi marketing komunikasinya. Ambil contoh, merek Sasa yang merupakan pionir di kategori Food Seasoning (penyedap rasa MSG – Mono Sodium Glutamat) sejak tahun 1968. Merek Sasa tergolong sudah Mature, meskipun hingga kini Sasa masih menempati posisi market leader di Tanah Air untuk kategori bumbu masak.
Pionir dan market leader saja tidaklah cukup. Pasar mulai berubah. Perilaku konsumen Indonesia sudah mengarah pada kepraktisan dan gaya hidup sehat. Demi menjawab perubahan konsumen sekaligus merejuvenasi image Sasa di pasar, upaya peremajaan dilakukan. Langkah pertama adalah melakukan inovasi produk, dengan mengektensifikasinya menjadi produk bumbu masak instan. Antara lain, dengan meluncurkan produk Sasa Tepung, Sasa Marinade, Sasa Kaldu, hingga Sasa Sambal.
Berikutnya, inovasi pada strategi marketing komunikasi. Kali ini, Sasa menggandeng sejumlah brand ambassador dari public figure di bidang kuliner yang notabene memiliki kesamaan karakter dengan produk-produk Sasa. Sebut saja, Chef Farah Queen dan Chef Marinka untuk produk Sasa Tepung, dan Bondan Winarno sebagai pakar kuliner. Semua iklan yang dibuat pun di rejuvenasi sehingga tone & manner-nya dapat terlihat young dan fresh. Sasa juga mencoba berinovasi di area media placement. Yakni, tak semata memasang iklan lose spot, tetapi juga sponsorship di program-program yang tepat. Berkat menjadi sponsor utama di acara “Master Chef” selama tiga season berturut-turut, image merek Sasa meningkat dan Sasa mulai dikenal sebagai produk yang dapat memenuhi semua kebutuhan wanita di dapur dan mampu membuat masakan lebih enak, lezat, dan praktis.
Sumber.mix.co.id

Pasangan Terbaik Marcomm21

icha dan wiwid
semoga langgeng yaaaaaa

Foto - Foto Marcomm21 UMB


Ketua Marcomm21...

marcomm21 crew....

 Perinikahan crew marcomm21 RETA.....
Rico dan Didi modus........


Team Marcomm21 

.....Ketua Marcomm21 ( paris san bintang ) ..
.......habis dikerjain sama monic dan devia......