Kamis, 24 Juli 2014
Iklan Online

Seiring dengan meningkatnya perusahaan yang ngotot untuk berebut posisi “Top of Mind†di mata para pelanggannya, maka upaya-upaya iklan tradisional dirasa kurang terasa efektiv. Bahkan ada sebuah buku yang membahas advertising berpendapat bahwa advertising agency telah kehilangan fokus dan hanya berlomba membuat iklan yang menjadi sebuah karya seni. Itulah sebabnya mengapa muncul anggapan bahwa advertising akan mati.
Meski demikian, ada sebuah penelitian yang menyatakan bahwa advertising dapat berubah pada masa yang akan datang. Perubahan itu mulai terasa saat ini. Berdasarkan penelitian eMarketer misalnya, perusahaan mulai serius beriklan di media baru: Internet. Tahun ini misalnya, budget iklan online perusahaan di Amerika Serikat untuk pertama kalinya akan menembus angka 10 Milyar Dollar AS, bahkan diproyeksikan dapat mencapai 12 Milyar Dolar AS. Empat tahun mendatang, angka itu akan membengkak menjadi 22 Milyar Dolar AS.
Peningkatan angka belanja iklan online ini memakan korban media tradisional. Berdasarkan survei InsightExpress, 74% eksekutif media buying dan planning meningkatkan budget iklannya ke media internet. Itu berarti 23 poin lebih tinggi daripada media yang paling diminati yaitu TV Cable. Sedangkan 19% atau lebih responden menyatakan akan memotong anggaran iklan pada media seperti Koran, radio, majalah dan TV.
Meski anggaran belanja iklan pada media internet meningkat, perkembangan tersebut tidaklah setinggi peningkatan jumlah audience. Secara keseluruhan pengeluaran untuk iklan online meningkat 32,5% namun belanja untuk setiap pengakses Internet hanya meningkat 27,9%. “Ini berarti uang telah gagal mengikuti ‘eyeball’ di Internet,” kata David Hallerman, analis senior eMarketer.
Penyebab utama fenomena itu adalah miskinnya tingkat kreativitas iklan online. Dibandingkan iklan audio dan visual di televisi atau design dan warna yang memikat pada iklan majalah, iklan pada internet terlihat datar. Akibatnya, banner pada portal dan website dinilai kurang memikat
Brand Yang Cocok Beriklan Di Internet
Banyak orang berasumsi bahwa beriklan (placement) dan berkomunikasi dengan memanfaatkan media internet seperti membuat web site, viral, email blast dll, hanya pantas dilakukan oleh brand yang memiliki target audience dengan kelas social AB saja. Hal yang melandasi asumsi ini adalah karena rata rata orang Indonesia yang berinteraksi dengan internet adalah kelas social AB yang tinggal di kota besar.
Asumsi ini muncul karena secara tidak sadar kita mengkotakkan internet sebagai medium yang hanya bisa diakses oleh kelas tertentu sehingga hanya produk untuk kelas tertentu saja yang pas memanfaatkan medium ini untuk berkomunikasi.
Padahal, jika kita teliti lebih lanjut, brand yang target audiencenya mass atau masyarakat luas sangat cocok memanfaatkan medium ini. Pengkotakan kelas social target audience hanya ada di pemikiran para perancang strategi komunikasi. Kenyataan di market menunjukkan banyak barang yang di brand plan-nya ditargetkan pada kelas AB saja atau BC saja, namun pada kenyataannya dikonsumsi oleh masyarakat umum tanpa membedakan kelas sosial seperti mie instant, kacang, obat sakit kepala, shampoo, sabun , minuman ringan, kartu prabayar, pasta gigi dll.
Benarkah hanya kelas social C D saja yang mengkonsumsi Indomie atau Mie Sedap? Benarkah hanya orang desa saja yang mengkonsumsi Tolak Angin? Benarkah Kacang Atom Garuda hanya dikonsumsi kelas tertentu? Benarkah hanya kelas AB saja yang rumahnya memiliki TV dan kulkas? Apakah permen yang dijual di warung hanya dikonsumsi oleh masyarakat ‘kelas warungan’? Benarkah kartu seluler hanya dimiliki oleh kelas AB saja? Tukang ojek dan tukang becak saja sekarang pakai HP.
Inti dari marketing adalah mencapai awareness setinggi mungkin, lintas gender, lintas usia, lintas kelas social yang ujung ujungnya menciptakan sales sebesar besarnya. Selama ada medium yang efektif untuk meningkatkan awareness, manfaatkan sebaik mungkin. Tak perlu mengkotakkan brand Anda hanya untuk kelas tertentu saja. Tak perlu menganggap internet hanya cocok untuk brand kelas atas. Jika brand Anda potensi untuk dikonsumsi masyarakat umum, saatnya melirik internet sebagai medium komunikasi yang efektif.
Tarif Iklan Di Situs Web
strategi iklan detikcom yg baru bisa jadi bermata dua
pertama, mereka ingin memperluas basis advertiser dg membuka kesempatan bagi lower budget advertiser utk bisa ikut beriklan di sana.
kedua, mereka secara langsung (tidak disengaja) mengirim pesan ke advertiser yg ingin beriklan secara online untuk semata-mata berpatokan pada jumlah pageview sebagai dasar harga iklan. dengan 6 juta pageview perhari (hal depan?), dia bisa menerapkan harga Rp. 1/pv/iklan dan bisa meraih pendapatan yg sangat besar.
untuk situs-situs yang jauh lebih kecil, kalau skema iklan detikcom menjadi acuan bagi para calon advertiser bisa membuat repot. coba dihitung, berapa sih jumlah pageview yang kita punya sehari (hal depan) dan dikalikan Rp.1/pv. Apa masih menguntungkan?
Seperti yang disinggung mas Agus, visitor detikcom adalah repeated visitor. dalam 1 hari, berapa kali kita buka detikcom (kalau saya minimal 10 kali). berapa pageview yang didapat secara akumulasi.. disitulah kelebihan detikcom sbg portal berita yang visitor selalu datang kembali (menciptakan pageview) utk mengecek berita terkini.
strategi lain yang mungkin tepat (imho), justru kita harus melepaskan diri dari bayang2 detik.com. jangan sampai didikte oleh harga iklan mereka. visitor harus disegmentasi dg jelas, dan bisa menawarkan advertiser sesuai dg segmennya. alhasil traffic mungkin tidak terlalu besar namun benar2 segmented. dari sana baru kita menetapkan harga sendiri. Detikcom mungkin raja di portal berita, tapi dia bukan raja di portal iklan properti (spt yg sedang diusahakan rumah123 saat ini), dan di segmen lainnya.
Rabu, 23 Juli 2014
Trik Online....Behavioral Targeting
Oleh Nukman Luthfie
Marketing Sherpa merilis hasil survei akhir tahun 2007 mengenai online marketing. Lembaga riset top di bidang online marketing tersebut meriset taktik online terbaik dan terburuk versi online marketer sepanjang tahun 2007.
Hasilnya, antara lain, behavioral targeting merupakan taktik online yang dianggap paling jitu tahun lalu, dengan memberikan RoI (return on investment) paling tinggi diantara sekian banyak taktik yang digelar online marketer sepanjang tahun 2007.
Sebaliknya, taktik yang dianggap paling buruk, dengan RoI paling rendah adalah pop-up banner dan pop-under banner.
Yang menarik, behavioral targeting bukan hanya terpilih sebagai taktik yang paling jitu, secara prosentase pun bobotnya lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Ini berbeda dengan contextual targeting misalnya, yang meski di peringkat dua, namun prosetasenya turun dibanding tahun sebelumnya.
Detilnya silahkan lihat tabel di bawah ini:

Behavioral targeting adalah teknik yang biasa digunakan oleh pemilik situs (online publisher) maupun pemasang iklan untuk meningkatkan efektivitas kampanye/promo mereka. Berbeda dengan taktik online lain, taktik ini berlandaskan pada perilaku individual target audience dalam berselancar di Internet. Antara lain halaman web apa saja yang biasa mereka buka, kata kunci apa yang sering mereka cari, dan lainnya. Dengan memahami perilaku ini, pemilik situs atau pemasang iklan dapat menampilkan banner atau promo yang sesuai dengan karakter target audience.
Portal Terbesar Di Indonesia
Selama ini hampir semua pengguna Internet di Indonesia paham, Detik.com adalah portal domestik terbesar di Indonesia baik dari sisi jumlah pengunjung maupun uang yang didapatkannya. Selama bertahun-tahun Detik.com berada di puncak tahtanya sendirian setelah pesaing terberatnya di era dotcom boom pertama rontok terkena imbas dotcom doom yang melanda Amerika Serikat di awal tahun 2.000. Namun, kini pesaing baru bermunculan lagi, nyaris mirip dengan dotcom boom tahun 1999 lalu. Okezone.com lahir, Kompas.com lahir kembali, beberapa portal baru dengan dukungan dana besar juga muncul (atau akan muncul). Portal-portal spesifik — terutama di entertainment — juga meramaikan pasar, termasuk Kapanlagi.com.
Maka, sudah jamak jika portal-portal ini berusaha merebut posisi nomor satu Detik.com. Kompas.com versi baru misalnya, kini terus mengkampanyekan keberhasilan mereka mengalahkan (pintu gerbang) Detik.com dalam hal pageviews (jumlah halaman yang dibaca user) dengan mengacu pada data Alexa.
Klaim-klaim ini akan terus berlanjut. Bukan hanya oleh Kompas.com, tetapi juga akan diikuti oleh portal-portal lain. Pandu misalnya, berkomentar di blog ini: “Di Indonesia, selain portal berita Kompas dan Detik yang memang merajai pasar saat ini, ada satu buah website lokal yang sebenarnya dari sisi trafic sangat jauh meninggalkan keduanya dan mereka tengah berbenah. Tunggu kabar selanjutnya tanggal 17 Agustus nanti”. Saya menduga, itu Kaskus.us, yang oleh Alexa.com memang ditaruh di peringkat yang lebih tinggi ketimbang Detik.com dan Kompas.com
Klaim bahkan juga dilakukan oleh Detikcom sendiri. Ketika ulang tahun ke 10-nya misalnya, Detik.com memasang iklan setengah halaman di koran Kompas, dengan mengungkapkan data Comscore bahwa pembaca Detik.com sudah mencapai 8,6 juta orang.
Kenapa saling klaim itu terjadi?
Pertama, untuk brand image. Kompas.com yang ingin menjadi portal terbesar di Asia Tenggara, tentu harus melewati Detik.com terlebih dulu agar bisa berjaya di pentas regional. Detik.com tentu tidak mau dikalahkan Kompas.com. Pemain lain yang makin serius juga tidak mau ketinggalan kereta.
Kedua, rebutan kue iklan dan income lainnya. Dengan memegang posisi sebagai nomor satu, harga iklan akan lebih tinggi dan peluang mendapatkan iklan lebih banyak dibanding yang nomor dua.
Masalahnya: klaim mana yang benar?
Ketika mengklaim pageviews-nya mengalahkan Detik.com, Kompas.com mengandalkan data Alexa.com, yang kita semua tahu data itu kurang valid. Namun Kompas.com tidak salah karena itulah data yang bisa diakses oleh publik secara gratis.
Ketika mengklaim pengunjungnya 8,6 juta, Detik.com menggunakan data Comscore yang jauh lebih valid dibanding Alexa.com. Pemasang iklan lebih mempercayai data ini — sebagaimana mereka mempercayai data-data yang disediakan oleh lembaga riset dunia seperti AC Nielsen. Namun, sayangnya, data tersebut bukan jenis data yang bisa diakses publik secara gratis.
Karena sumbernya beda-beda inilah saling klaim tidak akan ada habisnya.
Nah, ditengah sajian angka-angka statistik itu, Google menawarkan jasa lama dengan fasilitas baru: Google Trends. Semula, Google Trends hanya menyajikan data tren pencarian keywords. Nah, beberapa waktu lalu, Google Trends dilengkapi dengan fitur baru untuk bisa melihat unique visitor yang mampir ke sebuah portal per harinya. Dengan memasukkan url portal tertentu, kita bisa melihat seberapa banyak pengunjung unik yang datang ke portal tersebut setiap harinya.
Bahkan, kita bisa membandingkan portal-portal yang kita mau bandingkan dalam satu grafik. Di bawah ini saya bandingkan Detik.com, Kompas.com, Kaskus.Us, Okezone.com, Kapanlagi.com. Dari data tersebut terlihat, bahwa unique visitor per hari Detik.com sekitar 200 ribuan, sedangkan Kompas.com sekitar 100 ribuan, Kaskus sekitar 60 ribuan, Okezone 40 ribuan, Kapanlagi.com 30 ribuan.

Kanal-kanal Detikcom hampir setara dengan Kompas.com. Detiknews.com sekitar 100 ribuan, Detikhot 80 ribuan dan Detiksport 60 ribuan, seperti terlihat di grafik di bawah ini.

Tentu saja kita tetap harus kritis terhadap data-data di atas. Analisa yang lebih tajam, dengan memahami karakter masing-masing penyedia data –plus karakter masing-masing media — akan mempermudah kita menganalisa dengan benar. Perhatikan baik-baik, Kaskus.us yang menurut Alexa.com lebih tinggi peringkatnya dibanding Detik.com, ternyata menurut Google Trends masih kalah jauh dibanding Detik.com
Akan lebih hebat lagi hasilnya jika digabung dengan s
Koran Digital
Awal Juli lalu, industri surat kabar nasional memasuki babak baru. Hanya berselang beberapa hari, setidaknya ada lima surat kabar nasional meluncur versi baru korannya, yaitu koran Internet atau disebut pula e-paper.
Sebenarnya, onlinenisasi berita koran sudah terjadi sejak lama, yakni hampir semua surat kabar memiliki website yang di dalamnya juga memuat edisi cetaknya. Namun, selama ini format tampilan yang digunakan di Internet sama sekali berbeda dari edisi cetaknya, yaitu hanya berupa teks dan sesekali disertai foto. E-paper menampilkan layout yang sama persis dengan edisi cetak di depan layer computer.
Yopie Hidayat, Pemimpin Redaksi Harian Kontan, menyebutkan bahwa ide pembuatan e-paper Kontan sudah ada sejak tahun lalu. Kontan sudah mencari – cari vendor yang sesuai tapi sayangnya tidak ada yang berjodoh dengan berbagai alasan. “Tampilannya kurang oke, fiturnya kurang bagus, yah banyak lah,” ujar Yopie. Sampai akhirnya awal Juni 2008, Kontan menyampaikan kepada tim Seriousetec yang ketika itu sedang mengelolah software editorial dan pengarsipan Kontan akan kebutuhan tersebut. “Seriustec ternyata memiliki program yang kami inginkan. Hanya dalam waktu dua hari, format yang di inginkan sudah disediakan,” ungkapnya. Dan 1 Juli 2008, e-paper Kontan meluncur.
Berselang dua hari, saudara tua Kontan, Harian Kompas juga meluncurkan format e-paper – nya yang kemudian diikuti oleh Koran Tempo dan Rebuplika.

Handy Dharmawan, Manajer Teknologi Informatika PT Tempo Inti Media, menerangkan, salah satu latar belakang peluncuran e-paper Koran Tempo adalah cukup tingginya (30%) jumlah pengunjung website Koran Tempo (www.kontantempo.co.id) yang berasal dari luar negeri. Namun, versi online dari Koran Tempo hanya berupa teks. “Padahal kekuatan kami justru terletak pada kekayaan infografisnya,” unjar pria yang akrab disapa Wawan ini.
Untuk mengatasi kekurangan tersebut, Wawan mengusulkan format e-paper kepada manejemen Tempo. Gayung pun bersambut. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, e-paper Koran Tempo telah siap meluncur. Untuk menyajikan kontennya, Tempo bekerja sama dengan Pressmart.
Ada beberapa fasilitas tambahan yang diselipkan Tempo di e-paper-nya, seperti fasilitas suara yang bisa membaca isi artikel sayangnya, pengisi suara dalam konten itu dialeknya masih sangat bule, jadi seperti mendengar aktris sinetron Cinta Laura sedang membaca berita. Adapula fasilitas download, cetak, dan kirim e-mail, serta add to my clipping.
Menurut Wawan, kehadiran e-paper Koran Tempo tidak akan mengancam Tempo online. Pasalnya, e-paper hanya terbit setiap harinya (layaknya koran cetaknya), sedangkan online di-update setiap saat.
Pendapat senada diungkapkan CEO Virtual Consulting, Nukman Luthfie. “E-paper tidak bersaing dengan portal berita,” ia berujar. Dia menambahkan, karakteristik e-paper dan portal berita sangat berbeda. Lagi pula, salah satu keunggulan Internet adalah kecepatan, dan itu tidak dimanfaatkan oleh e-paper. “Jika dibandingkan dengan berita di portal, berita koran cenderung basi,” kata Nukman.Menurut pria yang sehari – harinya berkecimpung di bidang pemasaran online ini e-paper hanya sebuah upaya pengelola media cetak untuk meningkatkan bargaining positionnya di depan pemasang iklan. “Ini sebagai value-added bagi pemasang iklan, karena selain di koran, iklan mereka juga akan muncul di Internet,” tuturnya. Dengan cara ini, lanjut Nukman, diharapkan akan semakin banyak iklan yang bisa dijaring. “Persaingan berebut iklan di media cetak sangat ketat, jadi harus kreatif dan inofatif,” ia menambahkan.
Pemimpin Redaksi Detik.com, Budiono Darsono, juga berpendapat sama. Dia sama sekali tidak khawatir portal yang dikelolahnya bakal tersaingi oleh munculnya e-paper. “E-paper itu kan ancaman untuk koran cetak sendiri,” jawabnya melalui sms.
Sumber SWA di Serioustec yang enggan disebutkan jati dirinya mengatakan bahwa e-paper merupakan salah satu solusi yang bisa digunakan untuk mengatasi masalah distribusi. Dia menyebutkan warga Negara Indonesia tersebar di 86 negara. “Bayangkan jika mereka harus dikirimin satu per satu edisi cetaknya.” Singkatnya, dia menyebutkan bahwa dengan menggunakan format e-paper, jumlah pembaca akan meningkat secara signifikan, dan ini sangat membantu dalam memasarkan iklan.
Biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat sebuah e-paper juga tergolong cukup murah. Serioustec, lanjutnya, menggunakan teknologi Softpress dari Realview Technologies , Australia. Adapun harga paketnya dibagi menjadi dua. Softpress Basic dan Softpress Premium. Harian Kontan dan Kompas menggunakan paket premium dengan biaya US$ 600 (sekali bayar), dan US$5 per halaman/edisi. Sementara bagi yang merasa harga itu terlalu mahal, disediakan paket Softpress Basic. “Softpress Basic akan menjadi alternatif menarik bagi entry level,” katanya seraya menyebut bahwa untuk paket basic, loading halamannya sedikit lebih lamban.
Wawan menerangkan, e-paper tak hanya sebatas pelengkap surat kabar edisi cetak, tapi bisa menjadi revenue stream yang baru. Di halaman e-paper bisa dibuat iklan dengan format flash. Selain itu, sangat memungkinkan pula akan ada iklan baris dari Google. “Pembagian keuntungannya dengan pola bagi hasil dengan penyedia software,” ungkapnya. Selain itu, bisa dikeruk pula pendapatan dari biaya berlangganan.” Tetapi, saya tidak tahu akankah dibuat berbayar atau tidak,” kata Wawan.
Yopie menambahkan, saat ini kemungkinan untuk memungut biaya dari e-paper masih sangat kecil. “Untuk Internet saja sudah harus membayar, dan kualitasnya masih lamban.” Kendati demikian, dia menyebutkan peluang itu tetap ada. “Layanan ini akan terus kami kembangkan,” katanya seraya menyebutkan bahwa Kontan hendak membangun server sendiri di kantornya. “Nanti rencananya server akan digabungkan dengan megaportal Kompas Cyber Media.”
Cara Mengukur Awareness di Online
Pertama cara terpraktis untuk mengukur awareness di Online advertising adalah jelas Jumlah Visit/click ke suatu site, tapi ini tidak selalu bisa menjadi satu-satunya patokan, apalagi kalau pertanyaan tersebut diperluas dan dihubungkan dengan penyataan selanjutnya bahwa aware terhadap suatu produk atau campaign tidak harus selalu berkunjung ke site tertentu yang dibuat untuk memberi informasi mengenai suatu produk,
Pertama : kita harus pahami bahwa Awarenes merupakan suatu hal yang penting dalam memasarkan produk, tapi bukan berarti perjuangan kita dalam membuat produk kita digunakan dan selalu memberi manfaat kepada orang lain berakhir sampai disana, paling tidak khan ada 4 hal, Awareness-Interest-Desire-Action (AIDA), kemudian Media untuk mencapai awareness ini pun banyak & variatif, sehingga untuk mengukurnya sangat banyak dan variatif juga..sehingga kalau kembali ke masalah awareness di On line – tidak berkunjung ke Site tapi masyarakat bisa tetap aware terhadap suatu produk adalah mungkin karena hal ini..
Pertama Medianya apa, bagaimana cara mengukurnya..Misalnya kita beriklan di Online..tetapi ternyata masyarakat aware tanpa publikasi secara On Line, katakanlah mungkin karena produk tersebut menjadi bahan pembicaraan olehkarena suatu hal (katakanlah diluar media On Line), so untuk apa lagi kita membicarakan awareness di on line (apalagi mengukurnya), karena toh…tanpa on line pun ternyata awareness itu dapat diperoleh….The Point is Jika dipilh jenis media A
2 Cara Meningkatkan Efektifitas Online Advertising
Ad clutter bukan melulu masalah yang terjadi di media TV maupun cetak, hal yang sama juga terjadi di online. Hal ini lah yang kemudian membawa detik.com membuat sebuah keputusan besar untuk mengurangi jumlah space iklan dari 25 space menjadi 15 sehingga secara tampilan lebih bersih dan lebih menguntungkan para pengiklan (ujung-ujungnya, beriklan di detik sekarang semakin efektif saja!)
Selain ad clutter, masalah terbesar lain yang dihadapi para advertiser antara lain adalah:
1. Low quality advertising coming from advertisers.
2. Difficulty targeting locally.
Mengantisipasi hal ini, hanya ada 2 cara yang harus dilakukan untuk meningkatkan efektifitas marketing communication kita di online:
1. Make better advertising
Artinya, selain membuat materi iklan yang secara kreatif ‘nendang’, materi iklan online juga harus disertai sejumlah hal:
- Doing our homework by getting good strategic insight
- Pre testing our messages
- Testing the efectiveness of our design (penting lho ini di online! banyak campaign online gagal karena design tidak menjawab objective dan strategy)
- Measuring everything
Keuntungan berkomunikasi di online adalah adanya ruang untuk terus melakukan improvement selama campaign berlangsung. Berbekal pengamatan dan analisa yang intensif selama campaign, improvement untuk meningkatkan efektifitas bisa terus dilakukan.
2. Forget what you know about mass reach, focus on targeting.
Selama ini kita selalu berpikir bahwa semakin banyak iklan kita dilihat orang, semakin baik. Dalam aktifitas online advertising, salah satu takaran ‘baik’ adalah impressi yang besar. Pertanyaan yang lebih kritis adalah, untuk apa iklan kita di impress oleh orang yang bukan target kita? More is not always better, mulailah membidik market yang spesifik sehingga impressi yang dihasilkan pun impressi yang berkualitas.
Internet dan Koran
Pelaku bisnis media cetak di Indonesia kelihatannya masih yakin dengan masa depannya, meski media Internet tumbuh luar biasa di negeri ini, dan sudah banyak bukti media cetak di Amerika Serikat bertumbangan karena Internet. Gencarnya pemberitaan di televisi dan kuatnya penetrasi internet di Indonesia tak akan mematikan koran atau media cetak lainnya. Di daerah, koran berkembang pesat, jauh lebih banyak dibandingkan dengan koran yang tutup—karena masalah internal. Peluang iklan di media cetak tetap tumbuh dan persentasenya cenderung meningkat. Itulah benang merah Seminar Media Industry Outlook 2010 yang digelar Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), Rabu (20/1) di Jakarta, seperti ditulis di koran Kompas hari ini.
Saya dapat memahami apa yang disampaikan oleh para pelaku bisnis media cetak tersebut. Namun, sayangnya, tidak ada narasumber pelaku bisnis media online yang dilibatkan dalam media outlook 2010 tersebut. Sebagai pelaku bisnis online yang non media, saya akan memberikan pandangan berbeda.
Pertama, saya sepakat, bahwa Internet, juga televisi, tidak akan membunuh koran dan media cetak lain, namun dengan catatan.
Itu persis seperti kehadiran televisi yang ternyata tidak mematikan radio. Namun, tetap harus disadari, meski televisi tidak membunuh radio, kue iklan yang semula hanya dinikmati radio, kemudian dinikmati juga oleh televisi. Bahkan kini televisilah penikmat kue iklan terbesar, bukan radio. Televisi memang tidak mematikan radio, namun kue iklan yang seharusnya dapat dinikmati radio digerogoti oleh televisi.
Demikian halnya dengan media cetak. Sehebat apapun media cetak berkembang, kue iklannya tak mampu mengalahkan TV, karena kemampuan menjaring pemirsanya dan kemampuan menampilkan iklannya. Dari belanja iklan pada tahun 2009 sebesar Rp 36 triliun (Januari-September), media cetak “hanya” mendapat pangsa pasar sebesar Rp 13,85 triliun atau setara dengan 39 persen, sementara televisi 61 persen.
Dengan logika yang sama, kehadiran Internet, dengan berbagai media online yang hadir seperti portal Detik.com, forum Kaskus.us, media jejaring sosial Facebook, ikut menggerogoti kue iklan yang seharusnya dinikmati media-media sebelum lahirnya media online. Bahkan, ketika terjadi krisis ekonomi di seluruh dunia, perusahaan memangkas budget iklan radio, cetak dan televisi, untuk dialihkan ke Internet.
Internet tidak akan membunuh koran, itu betul. Namun kue iklan koran mulai digerogoti media online. Saat ini kue iklan yang dinikmati media online memang masih amat kecil dibanding yang diperoleh cetak (dan radio serta televisi). Namun benih ini akan terus membesar. Di Amerika Serikat, sejak beberapa tahun lalu kue iklan Internet mengalahkan radio dan tv kabel. Data menunjukkan, ketika iklan Internet terus naik pesat, sebaliknya pertumbuhan iklan cetak menurun. Saya menduga, hal ini akan terjadi di Indonesia suatu saat.
Kedua, Internet mengubah perilaku masyarakan mengonsumsi media.
Survei SPS bekerja sama dengan LP3ES di 15 kota meyakinkan para pelaku bisnis media cetak bahwa peluang dan potensi media cetak tetap terbuka lebar. Itu terlihat dari waktu rata-rata membaca koran orang di Indonesia per hari berkisar 34 menit.
Namun, jika dibandingkan dengan data lain, para pelaku bisnis media cetak ini mestinya khawatir. Survei yang dilakukan Synovate dan Detik.com pada tahun 2008 menunjukkan, 44% pengguna Internet di kota-kota besar mengakses Internet setiap hari, dan 77% diantaranya yang akses setiap hari tersebut menghabiskan waktu lebih dari dua jam. Coba bandingkan, membaca koran hanya 34 menit, sebaliknya Internetan selama dua jam. Perbedaan yang nyata.
Akibatnya, meski berlangganan media cetak, makin sedikit halaman yang dibaca. Apa yang ditulis koran hari ini sudah mereka ketahui kemarin saat menjelajah di Detik.com, Kompas.com,Okezone.com, Vivanews.com dan yang lainnya.
Bisa saja, mereka lama kelamaan semakin tidak membutuhkan koran karena sudah tahu isinya sehari sebelumnya. Meski tidak memegang data, saya menduga oplah koran pada umumnya tidak tumbuh baik (atau bahkan tidak tumbuh atau menurun).
Memang, koran tidak akan mati. Saya sepakat. Namun, dengan dua alasan di atas, saya berpendapat, meski tidak mati, ruang pertumbuhan bisnis media cetak semakin terbatas karena kehadiran Internet.
Dengan dua alasan di atas, saya menyarankan kepada pelaku bisnis cetak untuk membuka pikiran bagaimana mengadaptasi datangnya era Internet ini bagi masa depan, sedini mungkin sebelum terlambat.a
Berhasil dalam Beriklan , Berawal dari Perencanaan Yang Baik

Beberapa minggu yll saya bergabung dengan sebuah milis marketing terbesar di Indonesia. Selain ingin mengikuti diskusi para marketer, saya juga sekaligus ingin share knowledge tentang marketing communication kepada yang membutuhkan.
Beberapa pertanyaan muncul sekitar komunikasi seperti event apa yang bagus untuk brandnya, apakah billboard masih efektif untuk beriklan, apakah flyer efektif untuk menyebarkan pesan, bagaimana menjual produk lewat internet, jika tidak punya cukup budget untuk beriklan di media cetak, apakah radio masih bisa membantu dll.
Sebelum memutuskan untuk beriklan, hal pertama yang harus disadari adalah bahwa beriklan bukan sekedar menyebar pesan melalui berbagai medium, tapi merupakan sebuah rangkaian pemikiran yang terencana dan strategis.
TV, Print Ad, Radio, Bilboard, Flyer, event, internet dll hanyalah medium komunikasi. Sebelum kita membicarakan itu semua, yang paling penting adalah membuat Perencanaan Komunikasi sehingga komunikasi kita ??????ngga kemana-mana??????. Fokus.
Perencanaan Komunikasi dimulai dengan memahami produk kita. Seandainya campaignya ingin meluncurkan produk baru, yang pertama harus di cek adalah apa yang melatarbelakangi kemunculan produk kita? Apakah untuk menjawab kebutuhan masyarakat atau sekedar ingin meramaikan market dan membuat konsumen mendapat pilihan yang lain. Latar belakang munculnya air mineral baru dengan telepon super irit tentunya berbeda.
Kemudian, cek juga kebutuhan Konsumen. Apakah produk kita benar-benar dibutuhkan? Apa yang membuatnya beda dibanding competitor? Kepada siapa produk ini ditujukan? Seperti apa insight mereka? Kenapa mereka harus mengkonsumsi produk saya? Apa aktifitas komunikasi competitor? Pesan apa yang mereka angkat? dll.
Setelah SWOT produk dan komunikasi dipetakan, baru kita berpikir medium apa yang paling tepat untuk menyampaikan pesan. Memutuskan medium pun perlu kejelian. Bisa jadi sebuah direct mail lebih efektif dari pada print ad, sebuah flyer lebih efektif dari pada billboard, sebuah radio adlips lebih efektif dari pada web banner ad. Semuanya, tergantung dari seberapa jeli kita mengamati perilaku target audience. Semakin jeli, semakin tinggi tingkat keberhasilannya, dan bisa jadi semakin menghemat budget komunikasi Anda.
Memilih Biro Iklan
Oleh Iim Fahima Jachja
Sebuah pertanyaan yang muncul di rubrik konsultasi Marketing dan Marketing Communication Swa Onlinemengenai faktor apa saja yang harus dipertimbangkan dalam memilih biro iklan.Berikut jawaban detilnya, semoga bermanfaat untuk Anda.
Memilih biro iklan memang bukan merupakan sebuah proses yang mudah dan singkat, karena biro iklan merupakan salah satu marketing tools yang akan ikut menentukan kesuksesan sebuah perusahaan.
Untuk mementukan pilihan, ada persiapan yang harus diperhatikan:
Persiapan internal perusahaan yang berupa penunjukkan team pemilihan yang terdiri dari orang orang yang credible/senior di perusahaan yang selama ini terlibat langsung dalam proses bisnis. Keterlibatan team senior ini penting untuk membantu memahami kebutuhan dan arah bisnis perusahaan. Tim ini juga yang nantinya akan memberi brief visi dan misi perusahaan, business dan marketing plan serta budget komunikasi dari sebuah produk/jasa yang akan diiklankan kepada biro iklan yang akan melakukan pitch.
Setelah tim ditunjuk, tim akan merumuskan hal apa saja yang diharapkan dari sebuah biro iklan untuk mensupport kegiatan marketing plan mereka. Dari rumusan ini akan muncul gambaran kira kira biro iklan seperti apa yang dibutuhkan. Seberapa jauh campaign yang harus disiapkan? Short term atau long term? Seberapa besar biro iklan yang dibutuhkan? Seberapa lengkap servisnya? Servis apa saja yang dicari? dll.
Setelah urusan internal siap, berikutnya adalah mengundang biro iklan yang sesuai criteria yang disepakati. Untuk memilih biro iklan, ada beberapa elemen penting yang patut dijadikan pertimbangan
1. Biro iklan harus memiliki pemahaman yang baik terhadap bisnis Anda. Misalnya produk yang Anda jual adalah produk teknologi, maka carilah biro iklan yang mampu memindahkan bahasa teknologi ke dalam bahasa konsumen dengan baik, dan ini bukan perkara sederhana, karena untuk bisa memindahkan bahasa teknologi ke bahasa konsumen diperlukan pemahaman teknologi yang sama baiknya dengan pemahaman ilmu komunikasi.
2. Pastikan ukuran agency yang Anda perlukan. Agency yang lebih besar belum tentu lebih baik. Perlu agency yang besar, medium atau kecil? Semuanya tergantung seberapa besar budget komunikasi (billing) Anda. Biasanya brand dengan budget komunikasi kecil kurang mendapat perhatian jika berada di biro iklan besar karena perhatian mereka tersedot ke brand dengan budget komunikasi besar.
3. Jika brand Anda berbudget kecil, lebih baik menjadi big fish on small pond. Selain brand Anda akan mendapat perhatian besar, Anda juga bisa mendapat akses langsung ke pemilik perusahaan. Sebuah keistimewaan yang sulit akan Anda dapat jika Anda berada di biro iklan besar
4. Pastikan biro iklan ini memiliki tim yang terbaik untuk menangani produk Anda. Jangan sampai produk Anda ditangani oleh tim junior. Senioritas ini harus berlaku di semua sisi yaitu dari tim Account Planning, Account Service, Creative dan Media.
5. Jika Anda mengundang biro iklan yang masih baru, pastikan pemilik biro iklan tersebut adalah orang orang yang credible di bidangnya, bukan oportunis yang hanya mampu membuka perusahaan namun tidak memiliki pengetahuan di bidang yang dimasuki. Visi, misi dan pengetahuan pemilik akan mempengaruhi hasil kerja sebuah perusahaan.
6. Pastikan Anda menyukai tim yang akan bekerja dengan Anda, karena bagaimana pun juga, bisnis komunikasi adalah bisnis yang melibatkan kemistry. Jika kemistry tidak bertemu, bagaimana bisa menciptakan komunikasi yang baik?
7. Jangan mengundang terlalu banyak biro iklan karena ini hanya akan menghabiskan energy Anda. Pilih maksimum 4 agency yang paling sesuai dengan criteria yang telah ditentukan untuk mempresentasikan pemikiran mereka.
8. Jika Anda jatuh cinta pada sebuah presentasi, pastikan tim yang melakukan presentasi adalah tim yang akan menghandle brand Anda nantinya.
9. Pastikan biro iklan yang dipilih tidak menangani produk serupa karena akan menimbulkan conflict of interest.
Belajar Banyak Dari Starbucks
Oleh Iim Fahima Jachja
Saya bukan penggemar kopi, tapi sekarang saya sering menghabiskan weekend berdua suami dengan nongkrong di Starbucks Plasa Senayan dari lepas makan siang hingga magrib.
Berbekal laptop masing-masing, kami bisa tenggelam dalam dunia kami selama berjam-jam tanpa rasa bosan. Saya ngeblog atau pun menulis artikel sambil mendengarkan musik, suami baca buku sambil sesekali mengutak-atik demo musik di laptopnya. Di meja kami, tentu saja, ada kopi Starbucks.
Sebelumnya, saya menempatkan Starbucks hanya sebagai tempat ngobrol, bertemu teman atau bertemu klien, tapi sekarang Starbucks juga menjadi tempat yang nyaman untuk menyalurkan hobi saya.
Berawal dan pengalaman, kini saya ketagihan.
Bukan oleh kopinya. Yes, The coffee is good but I am not really into coffee…
Tapi oleh keseluruhan feel yang ada di sana. Sofanya, musiknya, ambiancenya, crowd-nya yang enak dilihat mata dan lain-lain.
Retail is detail.
Mulai dari logo hingga kemasan produk, dari lokasi hingga desain ruangan, dari annual report sampai katalog, dari kemudahan pembelian sampai layanan yang ramah. Retail bukan hanya mengandalkan kualitas produk atau harga murah,tapi semua elemen memiliki fungsi yang penting untuk membentuk jiwa sebuah brand.
Dalam menangani isue negatif pun, Starbucks juga tampil dengan personality yang bijak. Saat kejadian pemboman 11 September 2002, Starbucks diguncang berita tak sedap. Dikabarkan, manager Starbucks di area pemboman dengan semena-mena menaikan harga hingga sekian kali lipat. Akibatnya, sempat sebagian warga mengajak melakukan gerakan boikot terhadap brand ini.
Sambil meminta maaf atas kejadian yang tidak menyenangkan itu, Starbucks mencoba menjelaskan dengan cara yang simpatik bahwa keputusan itu diambil dalam kondisi yang panik dimana dalam kondisi chaos seperti itu, semua orang pasti sulit untuk berpikir jernih.
Tidak ada pemecatan, tidak ada teguran keras kepada pegawai yang kemudian dipublikasikan ke publik seperti yang sering dilakukan perusahaan ketika diprotes konsumen.
Publik berempati, kehormatan pegawai tetap terjaga. Sales tetap melaju, rasa cinta pegawai terhadap perusahaan semakin besar.
****
Belum banyak pemilik produk di Indonesia yang sadar dengan manfaat of being detail. Selama ini kita masih sering berada di level ingin dikenal (dibeli jika ada), belum ingin dicintai (dicari jika tak ada, tak ingin memakai yang lain jika bukan brand x).
Atau, memiliki keinginan untuk dicintai tapi tindakan yang dilakukan masih sebatas tebar pesona, kosmetis, dan mengabaikan hal-hal detail lain karena dianggap kurang penting. Menghabiskan energi untuk beriklan kesana kemari tapi sangat tidak perhatian pada kualitas customer service, product quality control, record data konsumen, kenyamanan konsumen dan lain-lain. Padahal, hal-hal detil itulah yang membuat seseorang jatuh cinta.
Starbucks dengan segala kedetailannya berhasil membuat produk menjadi brand, turning something ordinary to extraordinary.
Mengutip istilah bapak mertua saya, ini bukan lagi bicara tentang marketing communication, tapi business communication.
Belajar Komunikasi dari Dagadu
Bicara tentang brand di Indonesia, tentunya kita masih ingat dengan Dagadu. Dirintis oleh 25 mahasiswa UGM jurusan arsitektur di tahun 1994 dengan semangat ‘main-main’, Dagadu berhasil muncul sebagai salah satu sarana pencitraan kota Jogja yang khas.
Didesain unik dengan kalimat-kalimat guyonan plesetan tipikal Jogja sebagai pesan utamanya, Dagadu menjadi medium yang bercerita tentang kota Jogja kepada para wisatawan. Isi pesannya semua tentang Jogja. Ya tentang artefaknya, bahasanya, kultur kehidupannya, maupun peristiwa keseharian yang terjadi di dalamnya. Saat itu, di Jogja terjadi demam Dagadu.
Namun ternyata, demam Dagadu tak hanya terasa di Jogja. Beberapa pabrik kaos di Bandung pun di era yang sama mengikuti kesuksesan Dagadu dengan menciptakan kaos serupa namun satu per satu tumbang.
Tak hanya di pulau Jawa, demam Dagadu juga menular sampai ke Bali hingga terlahirlah brand serupa Dagadu di Bali bernama Joger.
Era kaos dengan kalimat-kalimat lucu, bisa jadi, sudah lewat. Dagadu pun kini tak lagi riuh terdengar. Namun ada hal menarik yang bisa kita pelajari dari Dagadu di masa lalu yaitu cara berkomunikasi alias beriklan yang tidak paritas.
Dagadu berkomunikasi lewat kaosnya, stikernya, gantungan kuncinya, papan pengumuman di toko, penunjuk arahnya, hingga pernak-pernik lainnya yang digarap dengan serius sehingga menjadi sarana iklan yang dicintai konsumen dan terus dikenang. Di saat yang sama, konsumen pemakai kaos Dagadu pun juga merupakan iklan berjalan yang menyebar di mana-mana.
Dagadu sudah menggunakan cara komunikasi non traditional di saat istilah itu pun belum dikenal di Indonesia. Dagadu juga membuktikan bahwa komunikasi dengan cara ini mampu membuat sebuah brand dikenal, dicintai, dan tidak dikonsumsi hanya oleh ‘kalangan terbatas’ seperti yang selama ini sering diperdebatkan.
Btw, Dagadu sekarang apa kabar ya?
WOM, Kalahkan Pengaruh ATL
Sebuah artikel menarik di Majalah Marketing Mix edisi 11 April-10 Mei 2007 yang ditulis oleh Harry Puspito, Direktur Pengelola MRI, Marketing Research Indonesia, tentang kalahnya pengaruh iklan ATL (TV, radio dan cetak) dibanding medium Word of Mouth (WOM), patut dicermati secara serius bagi pengiklan.
Dalam tulisan ini disebutkan, selama ini media TV adalah media paling mahal yang dianggap paling ‘efektif” dalam menjangkau konsumen karena jangkauannya yang luas dan dalam bentuk audio video yang menarik. Di berbagai media lain, biaya pemasangan lebih murah, namun jangkauan relatif lebih sempit.
Namun, bagaimana jika dilihat dari sisi konsumen?
Pada September 2006, MRI melakukan riset dengan melibatkan 202 responden laki-laki dan perempuan, usia 8 tahun ke atas, kelas sosial ABC+ di Jakarta. Pertanyaan yang diajukan adalah, media apa yang menjadi sumber terbaik untuk mendapatkan informasi berbagai kategori mulai restoran, cafe, mobil baru, komputer, produk perbankan, asuransi, rumah sakit, makanan, hingga produk rumah tangga.
Hasilnya mengejutkan.
Karena ternyata bukan iklan televisi yang menjadi sumber informasi terbaik dan memberi pengaruh terbesar dalam pengambilan keputusan, melainkan WOM. Dari 10 kategori yang ditanyakan, ada 8 kategori yang dianggap konsumen pengaruh terbesarnya muncul dari WOM, bukan iklan ATL. Hanya di satu kategori yaitu mobil baru, pengaruh ATL sangat besar. Hal ini mungkin disebabkan iklan ATL terutama televisi, mampu memperlihatkan visual mobil dengan jelas.
Siapa yang potensial menjadi sumber WOM? Survey menunjukkan, pada hampir semua kategori, sumber WOM adalah wanita. Kecuali pada kategori cafe, mobil, komputer dan asuransi, pria lebih dominan.

Riset ini tentu saja bukan untuk mengabaikan peran iklan ATL, namun sebagai sarana pengingat kepada para pemilik brand agar memberi perhatian lebih kepada penggunaan WOM dalam membangun sebuah brand. Sekaligus juga peluang bagi brand yang merasa kurang mampu bertarung di media televisi karena keterbatasan budget komunikasi atau karena ingin mengefisienkan budget yang dimiliki. Bangunlah sebuah komunitas yang kuat untuk menebarkan WOM. Namun hal yang paling basic, WOM akan tercipta ketika produk yang kita deliver memberi kepuasan kepada penggunanya.
Riset Konsumen, Kunci Keberhasilan Campaign
“Jadi kapan kita bisa start online campaign-nya, bu Iim?” tanya seorang brand manager sebuah perusahaan terkemuka setelah selesai memamparkan problem brandnya.
“Soon setelah saya mendapatkan finding researchnya, saya akan come up dengan rekomendasi” jawab saya.
” Waduuuh bu, kelamaan. Bisa ngga kita skip saja bagian risetnya?” protes mas manager
” kalo di skip, lalu kita me-measure keberhasilan atau kegagalan campaign-nya based on apa?” tanya saya balik.
Mas manager : “…”
*****
Memetakan permasalahan secara jelas dan menggali consumer insight terkait current problem maupun future opportunity adalah dua hal wajib yang mendasari strategy komunikasi kita, apa pun medianya. Tanpa dua hal tadi, jangan harap kita akan memiliki strategy komunikasi yang tajam.
Tuntutan untuk mendapatkan peta permasalahan dan insight konsumen secara jelas, semakin tinggi ketika sebuah brand masuk ke area komunikasi online. Hal ini disebabkan online adalah medium yang terukur, gagal suksesnya bisa langsung diketahui.
Salah satu contoh, seorang brand manager menyebut produknya kurang laku karena rendahnya brand awareness. Kata manager, kesimpulan itu muncul karena berdasarkan riset terhadap brand awareness, produknya kalah jauh dibanding kompetitor.
Sebagai brand manager atau pun konsultan komunikasi, menurut saya kita harus kritis terhadap data. Kita wajib menggali lebih lanjut apa yang membuat awareness rendah. Kurang campaign kah, salah konten campaign kah, salah positioning kah, atau malah jangan -jangan pembanding dalam riset kita tidak setara (brand untuk B2B harus bersaing awareness dengan B2C, dan ini sering terjadi!)
Dari sinilah kemudian kita bisa menentukan apa next step yang harus kita lakukan.
Dalam bahasa sederhana: Kita harus tahu posisi kita sekarang dimana untuk bisa menentukan posisi kita selanjutnya. Jika posisi sekarang seperti apa saja kita tidak tahu, bagaimana mungkin kita bisa menentukan next step musti ngapain?
Untuk itulah kita memerlukan riset.
Namun sayangnya, masih banyak yang menganggap riset sebagai cost. Padahal, riset adalah investasi. Alih- alih ingin berhemat dengan men-skip tahap riset, yang terjadi malah pemborosan luar biasa karena marketing dan komunikasinya salah sasaran karena dilakukan tanpa pemetaan permasalahan yang jelas.
Pemahaman Karakter Produk & Alokasi Budget Pemasaran Online
Saya baru saja membaca tulisan Brian Solis tentang promoted tweet. Artikel ini membahas mengenai Twitter yang mengeluarkan promoted Tweet, dengan menangkap peluang bagaimana konsumen menggunakan Twitter, dalam istilah Brian Solis berdasarkan Interest Graph.
Tulisan Brian Solis ini kemudian memicu pemikiran lebih jauh, bagaimana seharusnya kampanye sebuah brand membagi alokasi budget iklannya di berbagai pilihan channel Targeted Ad yang ada saat ini, sesuai dengan karakter brand. Apa itu Targeted Ad? Mengutip dari Wikipedia, ini adalah tipe iklan dimana pengiklan bisa menjangkau konsumen berdasarkan berbagai macam variabel seperti demografi, hingga perilaku belanjanya.
Saya mengamati, fenomena yang terjadi saat ini, ketika terjadi booming social media terutama Twitter dan Facebook, semua brand memusatkan alokasi budget iklannya ke sana. Benarkah itu pilihan yang tepat? Ketika Magnum banyak memanfaatkan Twitter untuk kampanye onlinenya, mungkin ini pilihan yang tepat karena produknya yang bersifat impulse buying. Tapi apakah kemudian orang akan berbondong membeli mobil Kijang Innova atau memesan kamar hotel setelah membaca di timeline Twitter ?
Sebelum membahas lebih jauh mengenai alokasi budget iklan yang digunakan. Kita perlu memahami dulu apa saja tipe Targeted Ad, lalu memahami perilaku konsumen yang menggunakan medium tersebut, yang kemudian akan mempengaruhi keputusan kita dalam mengalokasikan budget sesuai dengan karakter produk yang kita pasarkan.
Paling tidak ada 3 tipe utama targeted Ad yang cukup populer dan dominan saat ini :
Pertama, Search Based Ad, Google Ad adalah iklan yang sangat terkenal di kategori ini, sekaligus menjadi sumber penghasilan utama Google Inc. Anda perlu memahami iklan ini akan muncul di hasil pencarian, sesuai dengan kata kunci yang relevan yang kita pilih. Keunikan dari iklan ini adalah,kita menyasar konsumen yang pro aktif mencari, dan memang punyakebutuhan akan produk atau informasi tertentu.
Kedua, Social Graph Ad, ini adalah skema iklan yang diperkenalkan FB, seperti halnya di Google Ad bisa mentarget konsumen yang relevan, tapi kali ini iklan di dasarkan pada data-data demografi dari target audiens, dan lingkaran sosial mereka. Mengapa? Karena dengan kebijakan terbaru di Facebook, sebuah iklan FB Page misalnya, apabila dalam lingkaran teman kita banyak yang Like, maka dia bisa keluar dari kolom iklan, dan masuk dalam streamline home, karena dianggap relevan dengan kita. Iklan disini bersifat mendatangi konsumen yang pasif, menunggu disuguhi informasi.
Ketiga, Interest Graph Ad, konsep iklan inilah yang dikembangkan oleh Twitter dengan promoted Tweet-nya. Mengapa Interest Graph? Karena Twitter menghubungkan orang-orang yang terkadang tidak saling kenal, tapi perduli dengan isu tertentu, di suatu waktu tertentu. Iklan ini menyasar konsumen yang sedang search isu tertentu, atau sedang membaca timeline untuk segera melakukan tindakan pada saat itu juga. Di Twitter isu bisa bergerak begitu cepat dan menghangat, tapi dengan cepat juga akan terlupakan.
Apabila dilihat dari ketiga Targeted Ad itu, maka tiap medium punya fungsinya masing-masing yang tidak tergantikan satu sama lain. Fenomena yang terjadi saat ini, banyak perusahaan hijrah ke FB dan Twitter, dan melupakan Search Engine karena social media sedang tren, dan menganggap ketika social media datang maka semua konsumen juga berpindah kesana, dan tidak lagi menggunakan search engine. Padahal konsumen tetap melakukan pencarian di search engine, dan setiap kategori produk mempunyai karakteristik yang berbeda dalam pengambilan keputusan pembelian.
Misalnya ketika menyebut pemesanan hotel. Apakah orang akan mendadak memesan kamar hotel, ketika ada special offer yang ditawarkan di Twitter? Konsumen justru akan melakukan riset di search engine, sebelum melakukan keputusan pembelian hanya ketika mereka butuh. Oleh karena itu, misalnya untuk industri seperti perhotelan, maka budget terbesar yang harus dikerahkan adalah di Search Engine bukan di Social Media. Walaupun kehadiran di social media tetap harus ada, untuk menjalin loyalitas pelanggan.
Lain halnya, ketika Anda meluncurkan film baru, konsentrasi iklan sebaiknya di Twitter, mengapa? Karena konsumsi produk gaya hidup seperti ini akan lebih banyak dipengaruhi oleh Twitter yang mudah menyebarkan isu, dan membuat orang segera mengambil tindakan. Sementara produk yang mengandalkan kekuatan cerita, hubungan yang personal, dan komunitas misalnya Starbucks dan Bodyshop, sepertinya lebih bijak bila konsentrasi utama ditempatkan di Facebook untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan konsumen, berkomunikasi dengan lebih intens dengan mereka.
Sebagai agency atau tim digital marketing di sebuah brand, harus lebih sensitif terhadap hal ini, agar budget yang dikeluarkan efektif. Mengapa inimperlu diketahui? Karena saya memahami, setiap perusahaan berusaha menggunakan budget yang seminimal mungkin untuk menghasilkan dampak yang optimal. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, maka pembagian sumberdaya harus dilakukan dengan optimal juga sesuai kebutuhan. Tapi ini bukan berarti ketika produk Anda lebih cocok di Twitter, maka tak perlu membuat FB Page, dan melupakan Search Engine, brand harus tetap hadir disana tapi dengan alokasi sumber daya yang lebih kecil.
Untuk lebih memudahkan maka dapat dibagi pentahapannya sebagai berikut. Pertama, ketahuilah dulu karakter produknya. Apakah konsumen akan membelinya secara impulsif? Atau perlu riset sebelum pembelian? Atau konsumen akan mudah tergerak untuk mengambil keputusan ketika produk itu sedang hangat dibicarakan? Kedua, tujuan dari kampanyenya apa? Apakah membangun awareness? Mengambil tindakan segera? Atau untuk membangun komunitas yang loyal? Tahap ketiga, baru diputuskan budgeting terbesar akan dialokasikan dimana, berdasarkan pertimbangan poin pertama dan kedua.
Bagaimana menurut Anda? Ada pendapat lain?
Mengukur Engagement di Facebook?
Saat ini hampir semua brand masuk ke Facebook. Facebook sebagai social media sangat populer di seluruh dunia. Tak heran bila banyak brand yang kemudian berlomba masuk ke sana, dan berharap bisa mendekatkan diri dan berinteraksi dengan target konsumennya.
Sayangnya, latah penggunaan Facebook tidak diiringi dengan pemahaman yang mendalam mengenai social media ini. Para pemilik merek sering gamang ketika menentukan tolok-ukur keberhasilan Facebook Page-nya. Beberapa brand akhirnya menetapkan jumlah fans yang terkumpul di page-nya sebagai KPI keberhasilan.
Sebenarnya, banyak yang sudah mengerti bahwa di social media, terutama FB, isunya bukan hanya tentang jumlah tapi engagement. Mereka paham, social media adalah komunikasi dua arah. Tapi, pertanyaan selanjutnya, bagaimana mengukur engagement FB? Bagaimana mengukur keberhasilan kalau tidak bisa dilaporkan dalam angka?
Persoalan ini menjadi isu besar, yang kemudian mengarahkan para pemilik brand mengambil jalan pintas: ya sudah pake jumlah fans saja. Mereka tidak tahu lagi apa yang bisa dikuantifikasi. Sementara, tuntutan manajemen, yang namanya KPI haruslah kuantitatif.
Sebenarnya fitur terbaru Facebook Insight memberikan data yang lebih komprehensif untuk mengukur engagement para fans dengan Page. Selain bisa memberikan laporan berapa jumlah fans yang aktif per bulan, dari fitur Facebook Insight jumlah interaksi di FB Page selama satu bulan juga bisa dilihat. Bahkan, lebih jauh lagi Facebook Insight bisa memberikan data aktual jumlah yang melihat setiap kali Anda meng-update status di page Anda. Hal-hal ini sebenarnya lebih valid untuk menghitung keberhasilan sebuah fans page, dibandingkan hanya sekedar jumlah fans.
Mengapa laporan FB Insight lebih valid ketimbang hanya sekedar jumlah fans? Karena kembali lagi ke konsep awal, Facebook adalah social media tempat brand bisa mengharapkan mendapat perhatian dan interaksi. Jadi, jangan keburu merasa bangga bila Anda punya ratusan ribu fans; coba gali lebih mendalam berapa persen dari fans tersebut yang benar-benar berinteraksi dengan brand Anda. Jangan-jangan hanya kurang dari 10 persen dari jumlah total! Kalau begitu adanya, percuma saja ratusan ribu jumlah fans yang ada itu.
Sebagai pengelola social media terutama Facebook, Anda harus paham benar mengenai Facebook Insight karena sebenarnya di sanalah angka-angka yang lebih valid, dan bisa dianalisis untuk membuat asumsi. Karena dengan semakin banyaknya brand yang membuat fans page di Facebook, maka konsumen juga semakin banyak bergabung dengan page berbagai brand, tapi kebanyakan hanya menjadi anggota pasif. Mereka hanya menjadi anggota, tapi tak pernah mengikuti update dan berinteraksi dengan page tersebut.
Ini juga memberikan solusi bagi sistem pertanggungjawaban ke manajemen mengenai efektivitas kampanye social media. Anda bisa meyakinkan bahwa kuantitas saja tidak cukup, tapi harus juga dilihat dan segi kualitas engagement-nya. Dan, untuk manajemen yang menyukai data kuantitatif, serta demi sistem yang terukur, maka angka-angka di Facebook Insight bisa merefleksikan keadaan yang sebenarnya mengenai kualitas engagement brand dengan konsumen yang terkumpul di FB Page.
Langganan:
Postingan (Atom)