Saya baru saja membaca tulisan Brian Solis tentang promoted tweet. Artikel ini membahas mengenai Twitter yang mengeluarkan promoted Tweet, dengan menangkap peluang bagaimana konsumen menggunakan Twitter, dalam istilah Brian Solis berdasarkan Interest Graph.
Tulisan Brian Solis ini kemudian memicu pemikiran lebih jauh, bagaimana seharusnya kampanye sebuah brand membagi alokasi budget iklannya di berbagai pilihan channel Targeted Ad yang ada saat ini, sesuai dengan karakter brand. Apa itu Targeted Ad? Mengutip dari Wikipedia, ini adalah tipe iklan dimana pengiklan bisa menjangkau konsumen berdasarkan berbagai macam variabel seperti demografi, hingga perilaku belanjanya.
Saya mengamati, fenomena yang terjadi saat ini, ketika terjadi booming social media terutama Twitter dan Facebook, semua brand memusatkan alokasi budget iklannya ke sana. Benarkah itu pilihan yang tepat? Ketika Magnum banyak memanfaatkan Twitter untuk kampanye onlinenya, mungkin ini pilihan yang tepat karena produknya yang bersifat impulse buying. Tapi apakah kemudian orang akan berbondong membeli mobil Kijang Innova atau memesan kamar hotel setelah membaca di timeline Twitter ?
Sebelum membahas lebih jauh mengenai alokasi budget iklan yang digunakan. Kita perlu memahami dulu apa saja tipe Targeted Ad, lalu memahami perilaku konsumen yang menggunakan medium tersebut, yang kemudian akan mempengaruhi keputusan kita dalam mengalokasikan budget sesuai dengan karakter produk yang kita pasarkan.
Paling tidak ada 3 tipe utama targeted Ad yang cukup populer dan dominan saat ini :
Pertama, Search Based Ad, Google Ad adalah iklan yang sangat terkenal di kategori ini, sekaligus menjadi sumber penghasilan utama Google Inc. Anda perlu memahami iklan ini akan muncul di hasil pencarian, sesuai dengan kata kunci yang relevan yang kita pilih. Keunikan dari iklan ini adalah,kita menyasar konsumen yang pro aktif mencari, dan memang punyakebutuhan akan produk atau informasi tertentu.
Kedua, Social Graph Ad, ini adalah skema iklan yang diperkenalkan FB, seperti halnya di Google Ad bisa mentarget konsumen yang relevan, tapi kali ini iklan di dasarkan pada data-data demografi dari target audiens, dan lingkaran sosial mereka. Mengapa? Karena dengan kebijakan terbaru di Facebook, sebuah iklan FB Page misalnya, apabila dalam lingkaran teman kita banyak yang Like, maka dia bisa keluar dari kolom iklan, dan masuk dalam streamline home, karena dianggap relevan dengan kita. Iklan disini bersifat mendatangi konsumen yang pasif, menunggu disuguhi informasi.
Ketiga, Interest Graph Ad, konsep iklan inilah yang dikembangkan oleh Twitter dengan promoted Tweet-nya. Mengapa Interest Graph? Karena Twitter menghubungkan orang-orang yang terkadang tidak saling kenal, tapi perduli dengan isu tertentu, di suatu waktu tertentu. Iklan ini menyasar konsumen yang sedang search isu tertentu, atau sedang membaca timeline untuk segera melakukan tindakan pada saat itu juga. Di Twitter isu bisa bergerak begitu cepat dan menghangat, tapi dengan cepat juga akan terlupakan.
Apabila dilihat dari ketiga Targeted Ad itu, maka tiap medium punya fungsinya masing-masing yang tidak tergantikan satu sama lain. Fenomena yang terjadi saat ini, banyak perusahaan hijrah ke FB dan Twitter, dan melupakan Search Engine karena social media sedang tren, dan menganggap ketika social media datang maka semua konsumen juga berpindah kesana, dan tidak lagi menggunakan search engine. Padahal konsumen tetap melakukan pencarian di search engine, dan setiap kategori produk mempunyai karakteristik yang berbeda dalam pengambilan keputusan pembelian.
Misalnya ketika menyebut pemesanan hotel. Apakah orang akan mendadak memesan kamar hotel, ketika ada special offer yang ditawarkan di Twitter? Konsumen justru akan melakukan riset di search engine, sebelum melakukan keputusan pembelian hanya ketika mereka butuh. Oleh karena itu, misalnya untuk industri seperti perhotelan, maka budget terbesar yang harus dikerahkan adalah di Search Engine bukan di Social Media. Walaupun kehadiran di social media tetap harus ada, untuk menjalin loyalitas pelanggan.
Lain halnya, ketika Anda meluncurkan film baru, konsentrasi iklan sebaiknya di Twitter, mengapa? Karena konsumsi produk gaya hidup seperti ini akan lebih banyak dipengaruhi oleh Twitter yang mudah menyebarkan isu, dan membuat orang segera mengambil tindakan. Sementara produk yang mengandalkan kekuatan cerita, hubungan yang personal, dan komunitas misalnya Starbucks dan Bodyshop, sepertinya lebih bijak bila konsentrasi utama ditempatkan di Facebook untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan konsumen, berkomunikasi dengan lebih intens dengan mereka.
Sebagai agency atau tim digital marketing di sebuah brand, harus lebih sensitif terhadap hal ini, agar budget yang dikeluarkan efektif. Mengapa inimperlu diketahui? Karena saya memahami, setiap perusahaan berusaha menggunakan budget yang seminimal mungkin untuk menghasilkan dampak yang optimal. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, maka pembagian sumberdaya harus dilakukan dengan optimal juga sesuai kebutuhan. Tapi ini bukan berarti ketika produk Anda lebih cocok di Twitter, maka tak perlu membuat FB Page, dan melupakan Search Engine, brand harus tetap hadir disana tapi dengan alokasi sumber daya yang lebih kecil.
Untuk lebih memudahkan maka dapat dibagi pentahapannya sebagai berikut. Pertama, ketahuilah dulu karakter produknya. Apakah konsumen akan membelinya secara impulsif? Atau perlu riset sebelum pembelian? Atau konsumen akan mudah tergerak untuk mengambil keputusan ketika produk itu sedang hangat dibicarakan? Kedua, tujuan dari kampanyenya apa? Apakah membangun awareness? Mengambil tindakan segera? Atau untuk membangun komunitas yang loyal? Tahap ketiga, baru diputuskan budgeting terbesar akan dialokasikan dimana, berdasarkan pertimbangan poin pertama dan kedua.
Bagaimana menurut Anda? Ada pendapat lain?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar